70 Tahun KAA: Memperkuat Semangat Bandung di kondisi global saat ini

Jakarta – Konferensi Asia-Afrika (KAA), yang dikenal juga sebagai Konferensi Bandung. Diusulkan pertama kali di Konferensi Kolombo yang berlangsung dari 24 April hingga 2 Mei 1954. Melibatkan lima negara, yakni Sri Lanka, Indonesia, Myanmar, India, dan Pakistan.

Konferensi Kolombo bertujuan untuk membahas isu penting bersama, terutama dalam konteks solidaritas Asia-Afrika, dan menggalang dukungan untuk pelaksanaan KAA pada 18-24 April 1955, yang berlangsung di Indonesia sebagai tuan rumah, dengan kelima negara tersebut sebagai penyokong.

Tujuan KAA adalah untuk meningkatkan kerja sama antar bangsa, membahas isu ekonomi, sosial, dan budaya, mencari solusi untuk masalah kedaulatan nasional dan kolonialisme, serta memperkuat posisi Asia-Afrika dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.

Sebagai tuan rumah KAA, Indonesia berhasil mengundang 29 negara untuk ikut berpartisipasi. Termasuk lima negara penyokong, seperti Afganistan, Kamboja, Cina, Mesir, Ethiopia, Ghana, Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Thailand, Turki, Vietnam (Utara dan Selatan), serta Yaman.

KAA menghasilkan “Dasasila Bandung” yang mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, kedaulatan negara, dan perdamaian dunia.

Isi dari Dasasila Bandung mencakup:
– Menghormati hak asasi manusia serta tujuan dan prinsip yang terdapat dalam Piagam PBB.
– Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara.
– Mengakui bahwa setiap suku bangsa dan semua negara, baik besar maupun kecil, adalah setara.
– Tidak melakukan intervensi dalam urusan internal negara lain.
– Menghormati hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri, baik secara individu maupun kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
– Tidak menggunakan aturan pertahanan kolektif demi kepentingan khusus salah satu negara besar serta tidak melakukannya terhadap negara lain.
– Tidak melakukan tindakan atau mengancam agresi serta kekerasan terhadap integritas wilayah atau politik sebuah negara.
– Menyelesaikan semua perselisihan internasional secara damai melalui negosiasi, konsensus, arbitrasi, atau pendekatan damai lainnya, berdasarkan pilihan pihak-pihak yang terlibat sesuai Piagam PBB.
– Mendorong kepentingan bersama dan kolaborasi.
– Menghormati hukum dan kewajiban internasional.

KAA juga menjadi fondasi bagi Gerakan Non-Blok (GNB), yang dalam bahasa Inggris. Dikenal sebagai Non-Aligned Movement (NAM), resmi dibentuk di Beograd. Yugoslavia pada 1 September 1961. Negara-negara pendiri GNB meliputi Indonesia, Mesir, India, Yugoslavia, dan Ghana.

GNB bertujuan untuk mengakomodasi negara-negara yang merasa tidak terikat. Pada kekuatan besar mana pun, terutama pada masa Perang Dingin.

Pertemuan di Kairo, Mesir pada 5-12 Juni 1961, menghasilkan lima kriteria untuk keanggotaan GNB, yaitu:
– Negara yang ingin menjadi anggota GNB harus menghargai kemerdekaan dan mampu berdampingan dengan negara yang memiliki perbedaan politik dan sistem sosial.
– Negara yang ingin bergabung harus mendukung dengan kuat gerakan kemerdekaan nasional.
– Negara tersebut tidak boleh tergabung dalam aliansi militer dari negara adidaya mana pun.
– Jika sebuah negara memiliki perjanjian bilateral dengan blok tertentu atau menjadi anggota pakta pertahanan regional, perjanjian tersebut harus diakhiri dengan hati-hati untuk mencegah konflik dengan negara adidaya.
– Jika negara tersebut mengizinkan keberadaan pangkalan militer dari negara lain, maka dasar kesepakatan tersebut tidak boleh berkaitan dengan konflik negara besar.

Dasasila Bandung dan kelima kriteria tersebut menjadi landasan bagi pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok yang dihadiri oleh para pemimpin negara anggota.

Semangat Bandung di tengah kondisi global saat ini.
Meskipun semangat Bandung dinilai masih relevan dengan situasi global saat ini. Beberapa tindakan perlu diambil agar prinsip-prinsip tersebut dapat terus dilaksanakan dan tetap sesuai dengan tantangan yang ada.

Duta Besar Ethiopia untuk Indonesia, Fekadu Beyene Aleka, menyatakan bahwa salah satu langkah yang diperlukan adalah memperkuat multilateralisme atau lembaga-lembaga multilateral untuk memastikan terjadi representasi dan pengambilan keputusan yang adil, sehingga dapat membantu menyelesaikan isu-isu global yang sedang dihadapi.

Pendekatan lain adalah mendorong kerjasama ekonomi, khususnya di antara negara-negara berkembang dengan meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan melalui perdagangan, pertukaran teknologi, serta mengurangi ketergantungan pada kekuatan tradisional atau aktor utama.

Selanjutnya, penting untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Di mana tantangan global seperti perubahan iklim memerlukan langkah kolektif. Yang menggabungkan prinsip keadilan dan menjelaskan nilai-nilai tersebut.

Prioritas lain yang bisa diambil meliputi ketahanan ekonomi serta diversifikasi perdagangan. Serta mendukung industrialisasi melalui kolaborasi. Antara negara-negara Selatan dan mengadopsi pengalaman dari China.

Selain itu, juga perlu mengembangkan kemitraan dalam bidang teknologi transportasi, digital, dan infrastruktur publik untuk memberdayakan ekonomi yang sedang berkembang, serta menjalankan perlindungan sosial dan pengembangan sumber daya manusia, serta membangun solidaritas geopolitik.

Aleka berpendapat bahwa langkah-langkah tersebut dapat memperkuat pasar tenaga kerja dan mengatasi kerentanan pada pekerja formal, perempuan, serta pemuda, yang dalam konteks global dapat memperkuat platform multilateral untuk memperkuat suara kolektif negara-negara Selatan.

Setuju dengan Aleka, Duta Besar Tanzania untuk Indonesia, Macocha Moshe Tembele. Juga menegaskan pentingnya meningkatkan kolaborasi antara lembaga multilateral. Seperti kerjasama antara Uni Afrika dan ASEAN, untuk mendorong multilateral.

Profesor Akademi Diplomasi Vietnam, Nguyen Vu Tung, juga menyoroti pentingnya mendorong kerjasama multilateral. Dalam menghadapi tantangan global saat ini, yang bisa dimulai dari kerjasama tingkat regional.

Dengan memfokuskan pada kerjasama multilateral, negara-negara yang lebih kecil bisa saling berkolaborasi di tema-tema spesifik dalam kerangka regional, antarkawasan, atau global.

ASEAN bisa menjadi contoh yang baik bagaimana negara-negara di Asia Tenggara dapat menjalin kerjasama di antara mereka, yang kemudian bisa dilanjutkan dengan kolaborasi antar kawasan.

Sementara itu, Profesor National University of Malaysia, Cheng Chwee Kuik, mengatakan bahwa gerakan non-blok atau netral dalam menghadapi kondisi global saat ini dapat terwujud dengan bergabung dalam berbagai blok, baik yang berorientasi Barat maupun yang tidak, termasuk ASEAN, ASEAN Plus, dan non-ASEAN.

Dengan berpartisipasi dalam berbagai blok dan bekerja sama dengan negara-negara di dalamnya. Penerapan semangat Bandung sangat mungkin dilakukan untuk menghadapi situasi global saat ini.

Ketika semangat Bandung mulai “menular” ke negara-negara lain, maka negara-negara di Asia dan Afrika dapat menyuarakan pendapat mereka di forum internasional dan memanfaatkan semua kekuatan yang ada demi tercapainya perdamaian dunia.

Dengan cara ini, cita-cita Soekarno dalam pidato pembukaan KAA 1955 di Bandung dapat menjadi kenyataan: “Kita dapat menunjukkan kepada minoritas di dunia yang berada di benua lain bahwa kita, mayoritas, berkomitmen pada perdamaian, bukan peperangan, dan segala kekuatan yang kita miliki akan selalu digunakan untuk mendukung perdamaian. ”.